Ditulis oleh : Habibah Auni
Berada di dalam ruang kelas dengan menduduki kursi kayu di masing-masing depan meja belajar. Adalah rutinitas pagi yang biasa dijalani oleh kami sebagai sekumpulan siswa sekolah rendah.
Rendah dalam arti filosofis menundukkan kepala, bukan mendongakkan sebagaimana perilaku orang yang mengetahui segalanya. Sebab dengan merendahkan pandangan mata ‘kan manusia bisa menelaah dan mendalami banyak hakikat kehidupan.
Itulah yang dikatakan oleh Guru kami, seseorang yang bijaksana dalam menjaring pengetahuan kemudian membagikannya dengan rasa bahagia.
Maka tak salah, jika kami berpikir, bahwa berkat kepribadian – beliau ditempatkan sebagai guru agama. Pekerjaan yang barangkali kerap diremehkan sebagian orang, namun tidak kalah pentingnya dengan peran guru-guru lain.
Pagi ini, fajar sudah menyeruak penuh, bulat melepaskan diri dari gumpalan awan. Tidak lagi bertingkah selayaknya penguntit yang malu-malu mengintip dari celah.
Dengan gagah berani, fajar merambatkan cahayanya ke bumi. Ini menjadi tanda bahwa kelas agama akan segera dimulai.
Dan benar saja. Bel sekolah gemerincing keras, mengiringi derap Guru di luar ruangan. Terdengar guru membuka pintu, lalu masuk dan berdiri di depan kami.
Tanpa basa-basi, beliau memulai sesi pembelajaran dengan bertanya, “Percayakah kalian, jika aku bilang bahwa
menulis merupakan jantung peradaban?”
“Jadi – begini murid-murid – sistem kepenulisan mewarnai dan mengawali peradaban dunia. Berdasarkan buku Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference karya Fredrik Barth, kemunculan sistem penulisan terjadi ketika dunia sedang mengalami transisi; dari masyarakat pemburu-pengumpul menjadi masyarakat yang menetap dan bertani. Transisi ini terjadi lantaran masyarakat membutuhkan perhitungan atas properti. Terbukti dari perhitungan biji-bijian atau ternak yang dilakukan masyarakat pada 4100-3800 sebelum Masehi (SM).” [1]
“Dengan demikian, yang ingin kukatakan murid-murid bahwa tulisan merupakan produk dari masyarakat agraris. Berkat budaya menulis, masyarakat dapat mengelola properti dengan baik, sehingga meraup sejumlah keuntungan yang kemudian mereka gunakan untuk memproduksi bir. Dari sini, kita bisa melihat bahwa menulis mampu membentuk peradaban masyarakat agraris dengan baik. Hal ini dicirikan dari prasasti tua yang ditinggalkan oleh peradaban mereka. Yakni suatu bukti yang merekam dan mencatat kebesaran zaman, lalu ditinggalkan kepada kita untuk mengadopsinya.”
“Lalu guru, apa hubungannya menulis, peradaban, dan mata pelajaran agama?” Tanya seseorang dari kami – dengan mengacungkan telunjuk jarinya – yang sekiranya dia memang memiliki kebingungan yang sama dengan kami semua.
Guru pun tersenyum lalu membalas, “Baik, baik, pertanyaan yang bagus! Dengarkanlah murid-murid, bahwa Islam adalah agama yang berhasil membentuk peradaban melalui tulisan. Melalui segores tinta dunia mendapatkan berjuta-juta manfaat dan kebaikan.”
“Barangkali kita semua mafhum betul, bagaimana ulama-ulama terdahulu dinobatkan sebagai arsitek peradaban – yang berkat kegiatan menulis mereka, kejayaan Islam dapat terwujudkan. Sebab, dengan adanya karya tulisan milik Ibnu Qaldun, Al Farabi, Ibnu Taimiyyah, dan ulama lainnya, Islam dapat menyebarkan bahkan menjamah wilayah yang belum tersentuh dengan nur Ilahi. Sehingga dari sinilah terbentuk suatu peradaban agung, yakni peradaban yang penuh kebajikan tanpa ada penindasan. Yang bahkan mewariskan karya tulis yang masih ada hingga detik ini – yang kerap dijadikan rujukan dalam berbagai disiplin keilmuan.“ [2]
“Bukankah ini menjadi bukti kuat, bahwa dengan menulis, kita dapat membentuk peradaban sekarang, bahkan masa depan? Coba bayangkan ketika kita berhasil menciptakan karya tulisan bernuansa islami tanpa ada tipu daya dan ujaran kebencian. Barang tentu kita dapat menyampaikan pengetahuan, membentuk framework berpikir masyarakat, berdakwah, bahkan menyatukan antar umat beragama – tidak terbatas oleh ruang dan waktu.”
“Inilah keistimewaan yang dimiliki dakwah bil kitabah (dakwah melalui tulisan); melekukkan peradaban secara
bebas.[3] Yang dengan segores tinta, dapat terbentuk kejayaan Islam. Melebihi dakwah lisan, karena ‘kan kita tidak perlu takut dalam menyampaikan. Dan berpotensi terhindar dari kesalahan penyampaian, sebab membuat tulisan pasti melalui revisi terlebih dahulu.”
“Oleh karena itu, murid-murid. Mari keluarkan pena kalian. Goreskan berbaris aksara yang memang berisi kebenaran dan kebajikan (bermuatan Islam lebih baik). Asah pena kalian dan jangan biarkan kering seperti padang pasir. Lakukan terus sampai maut hendak menjemput usia.”
“Kita balikkan kejayaan Islam, memajukan kembali peradaban. Buat karya tulisan yang bermutu dan sebanyak mungkin. Jangan berhenti, hingga kita dapat membagikan karya tulisan yang dapat dibanggakan dan dijadikan pedoman oleh penerus kita. Kibarkan panji dakwah yang dapat melintasi ruang dan waktu, serta bermanfaat untuk segala bangsa!”
Kami hanya bisa berdiam diri, setelah mendengarkan pematerian dari Guru yang sekiranya memakan waktu 1 jam. Namun, yang pasti, jiwa kami sudah terpanggang betul di atas api Guru.
Dan tak akan padam, sampai kami setidaknya dapat membuat 1 karya tulisan, bahkan menjadi penulis yang dapat membentuk zaman dan peradaban. Memendarkan nur Islam yang tak terputus-putus kebermanfaatannya!
Catatan:
[1] Agung Sasongko, “Budaya Menulis dalam Peradaban”, https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/19/08/01/pvjteh313-budaya-menulis-dalam-peradaban (diakses pada 31 Maret 2021, pukul 19.00).
[2] Yusrin Ahmad Tosepu, ”Menulis untuk Peradaban: Membingkai ‘Disrupsi’ Peradaban dengan Menulis”, https://yusrintosepuabdikarya.wordpress.com/2019/01/13/menulis-untuk-peradaban-membingkai-disrupsi-peradaban-dengan-menulis/ (diakses pada 31 Maret 2021 pukul 19.30).
[3] Anonim, “Tulisan dapat Menjadi Media Dakwah Efektif”, https://www.uii.ac.id/tulisan-dapat-menjadi-media-dakwah-efektif/ (diakses pada 31 Maret 2021, pukul 20.00).