Ditulis oleh : Ermawati Sapni
Perkenalkan namaku Qiara, aku merupakan siswi kelas 12 di salah satu madrasah Aliyah negeri di kota Bogor. Akhir-akhir ini aku melihat sebagian temanku sangat gemar bermain sosial media, tak terkecuali dengan sahabat karibku Tasya.
Pada suatu pagi, Tasya menyarankanku agar bermain beberapa aplikasi yang ada di media sosial, menurutnya bermain media sosial sangat seru. Selain itu, dengan media sosial dapat terhubung dengan orang-orang di berbagai negara.
Pada saat itu tentu saja aku menolaknya, karena menurutku bermain media sosial hanya membuang-buang waktu dan tentunya mengganggu fokus dalam belajar. Hari demi hari Tasya terus menggemakan serunya media sosial kepadaku, jujur saja aku merasa jenuh dengan semua ocehan tasya yang sangat memuja-muja media sosial itu.
Saat tiba di sekolah, pagi ini tiba-tiba tasya menghampiriku dan memberitahu bahwa ada sesuatu yang seharusnya tidak pantas dipertontonkan oleh salah satu teman kelas kami. Aku cukup terkejut dengan berita di media sosial tersebut.
Melihat dari background sekolah kami yakni madrasah Aliyah, seharusnya mereka lebih paham mengenai batasan dalam bergaul dan beradab. Tanpa adanya rasa malu mereka dengan bangganya mempertontonkan hal-hal yang dilarang di dalam agama.
Karena rasa penasaranku mulai menghampiri akhirnya malam ini aku mengumpukan tekad untuk membuka media sosial. Aku cukup terkejut melihat postingan-postingan yang ada di sosial media, benar saja dugaanku banyak postingan yang melanggar kaidah agama seperti unggahan berbau pornografi, foto anak muda yang sedang mabuk dan masih banyak lagi yang cukup menyayat hati.
Setelah mempelajari dan memahami penggunaan media sosial, tiba-tiba terbesit di benakku kenapa media sosial tidak aku manfaatkan saja sebagai media dakwah. Melihat minimnya adab para remaja saat ini aku mulai yakin untuk menggemakan ajaran agama melalui media sosial.
Keesokan harinya aku memberitahu Tasya mengenai ide ini, Tasya sangat mendukung bahkan bersedia untuk membantu. Sepulang sekolah aku dan tasya janjian untuk mulai membuat konten dakwah di rumahku. Kami memutuskan mulai menulis ajaran agama yang relevan dengan pergaulan anak muda agar lebih mudah dipahami.
Akhirnya untuk pertama kalinya kami memposting konten dakwah, kami berharap agar niat baik ini mendapat respon positif. Keesokan harinya di luar dugaanku beberapa teman sekelas menghampiri, dengan raut wajah yang terlihat kesal mereka memakiku dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas.
Salah satu dari mereka yakni Vara, memperingatiku agar tidak berlagak menjadi orang suci, paling mengerti agama bahkan berpura-pura baik. Tentu saja mendengar perkataan mereka aku terkejut dan sakit hati. Aku menyadari bahwa ternyata tidak baik berekspetasi terlalu banyak akan sesuatu hal, peluang kecewa pasti akan selalu ada.
Sepulang sekolah aku dan Tasya bergegas menuju rumahku, kami langsung membuka media sosial dan mengecek postingan yang kami unggah kemaren. Setelah melihat kolom komentar, aku dan Tasya sedih melihat komentar yang hampir delapan puluh persen berisi cacian dan makian.
Melihat komentar tersebut, Tasya ingin memutuskan berhenti ikut membuat konten dakwah karena merasa akan dibenci dan dimusuhi banyak orang. Namun aku meyakinkan Tasya agar kami tetap memposting konten tersebut, karena kalau bukan sekarang kapan lagi.
Aku berharap semoga kami mejadi contoh bagi anak muda untuk ikut mendakwahkan ajaran agama. Setiap perbuatan pasti ada resikonya, selagi itu tidak melanggar ajaran agama dan etika kenapa tidak.
Hari demi hari aku dan Tasya terus memposting konten dakwah, tetapi tetap saja komentar negatif tetap ada. Aku mulai berpikir jika postingan kami hanya berbentuk tulisan dan gambar mungkin tidak begitu menarik bagi para remaja, ide untuk membuat konten dakwah dalam bentuk video mulai terbesit.
Jujur saja aku tipe orang yang tidak percaya diri berada di depan kamera, tapi setelah memikirkannya dengan matang akhirnya aku memberanikan diri. Aku mulai menulis materi dakwah untuk video yang ringan-ringan saja.
Tasya membantuku merekam video dengan durasi singkat lalu sedikit memberikan sentuhan editing agar video menarik untuk ditonton. Beberapa jam setelah diposting ternyata metode dengan video cukup efektif, postingan kami sudah mendapat sekitar 100 lebih tayangan.
Kami tentunya sangat senang meskipun tetap saja ada komentar negatif. Akhirnya setiap hari kami mentargetkan memposting satu video perharinya. Beberapa hari berlalu, unggahan kami cukup mendapat respon positif di kalangan anak muda.
Keesokan harinya di sekolah, pak Salim yang merupakan guru akidah akhlak memanggilku agar menemuinya di ruang guru. Aku sedikit gugup dan berpikir apakah aku melakukan sebuah kesalahan.
Sesampainya diruang guru aku disambut dengan senyuman dan dipersilahkan duduk, tentu saja itu di luar dugaanku sebelumnya. Pak Salim mengatakan sangat senang dan bangga dengan konten dakwah yang aku dan Tasya posting di media sosial.
Beliau berterima kasih karena telah berani mensyi’arkan ajaran agama islam di tengah kemajuan arus globalisasi saat ini. Menurutnya anak muda butuh konten dakwah yang menarik seperti video yang kami buat, beliau berharap agar banyak dari teman-teman kami melakukan hal serupa dalam memanfaatkan media sosial.
Jujur saja Aku dan Tasya sangat senang karena mendapat respon yang sangat positif dari pak Salim. Beliau meminta kami agar terus mendakwahkan ajaran Islam melalui media sosial.
Hari ini aku sangat bersyukur karena dapat bermanfaat bagi orang lain, dan tentu saja mendapat pelajaran yang berharga. Sesuatu perbuatan baik yang kita ikhtiarkan akan dipermudah oleh Allah SWT meskipun tidak secara cepat, tetapi hasil tidak akan pernah menghianati usaha.
Aku berharap semoga niat baik kami dalam mensyiarkan ajaran agama dapat menjadi contoh bagi anak muda di era derasnya arus globalisasi saat ini.