Ditulis oleh : Adysa Nandyta Maurentina
Eithar buru-buru keluar dari mushola sekolahnya setelah pelajaran PAI, sedangkan yang lain sedang sibuk bergantian mengambil wudhu, yang sudah selesai, menyiapkan saf-nya untuk sholat Asar.
Ia tak peduli dengan yang lain, ia ingin cepat-cepat pulang, sampai salah satu teman sekelasnya memanggil dirinya.
“Eithar, kenapa tidak ikut sholat Asar? Meskipun tak ada guru, tetap harus ikut, lho.”
“Aku sibuk, maaf ya.”
Dan lagi-lagi, temannya yang bernama Farhan itu menggeleng heran ketika Eithar sudah pergi. Eithar tak pernah kelihatan ikut sholat wajib dengan mereka, saat pelajaran Pendidikan Agama Islam atau PAI pun, ia ogah-ogahan mempelajarinya.
Hari sudah mulai sore, Eithar bergegas masuk ke kamarnya. Untung saja, Ayahnya tidak ada di rumah. Kalau ada, pasti beliau akan mengingatkan Eithar untuk sholat dan mengaji. Meskipun muslim, Eithar termasuk orang yang malas beribadah.
Ia juga tak tahu mengapa, seakan tak pernah ada niat di dalam dirinya. Dulu saat ia SD dan SMP, ia merupakan siswa dari sekolah berbasis agama Islam. Meskipun begitu, ia tetap tak bisa menguasai agamanya sendiri. Saat SMA, baru lah ia masuk sekolah umum dan merasa dirinya lebih bebas.
Eithar membuka laptop dan buku catatannya, berniat mencicil materi UTBK yang akan dilaksanakannya tahun depan. Hari ini ia ingin belajar sejarah. Di laptop-nya, terpampang file PDF yang menampilkan materi pelajaran tersebut.
Huh, tentang Islam lagi? Baru saja di sekolah tadi belajar PAI. Batinnya kesal setelah melihat bahwa materinya tentang Islam di Indonesia, entah ada setan apa di dalam dirinya.
Eithar membaca kemudian mencatat materi tersebut, yaitu tentang peristiwa yang berkaitan dengan muslim di masa lampau di Indonesia, beserta kerajaan-kerajaannya, tak disangkanya ternyata lumayan seru. Ia dengan mudah mengingat bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudera Pasai.
***
Keesokan harinya…
Hari ini adalah hari Jum’at, tanggal merah. Eithar memanfaatkannya untuk bangun siang setelah tadi malam ia sudah terlalu lama terjaga, mempelajari materi sejarah yang dilanjutkannya dari sore harinya.
Namun hari ini Eithar kurang beruntung. Ia merasa badannya ditendang sedikit dan langsung jatuh ke bawah ranjang.
“Sudah berapa kali Abi bilang, jangan lupa sholat Subuh, ke masjid! Tadi saat Abi baru sampai, Abi bertemu teman Abi dan katanya hari ini kamu tidak ke masjid untuk sholat berjamaah,” ternyata itu Abi atau Ayahnya, yang baru saja pulang dari luar kota perihal pekerjaan.
“Abi.. Kan—“
“Tidak usah banyak alasan, nanti kamu sholat Jum’at ke masjid. Kalau tidak, Abi sita semua barang-barangmu di sini,” ujar sang Abi geram.
“Jangan, Bi..” Eithar menjawab dengan pasrah.
Ia tak ingin gitar, bola, bahkan mungkin laptop-nya diambil sang Abi. Eithar ingat, memang sudah beberapa kali ia tidak sholat Jum’at. Dan minggu ini ia memang harus ke masjid setelah sekian lama.
Beberapa jam kemudian, karena rasa malasnya, Eithar datang terlambat. Ia mengambil tempat di luar karena di dalam masjid sudah penuh. Ibadah tersebut berlangsung selama satu jam lebih, karena dilanjuti oleh khotbah.
Eithar sedikit panik hari ini, karena ada beberapa bacaan sholat yang ia lupakan karena sudah lama ia tak melakukan ibadah wajib tersebut.
Karena rumahnya dekat dengan masjid, maka ia hanya perlu berjalan kaki untuk kembali ke tempat tinggalnya. Namun, langkah kaki Eithar terhenti ketika melihat bangunan kecil di sebelah masjid.
Tak hanya bangunan itu yang menjadi pusat perhatiannya, namun juga beberapa orang di situ. Banyak anak berusia sekitar 6-11 tahun, dan bahkan ada teman sekelasnya di situ, Farhan.
Farhan yang sedang bertugas menjadi guru mengaji pun juga tak sengaja melihat Eithar. “Eh, tumben ada Eithar. Eithar, ke sini!”
Entah kenapa, bukannya pergi, Eithar malah menurut dan pergi ke situ. Anak laki-laki dan perempuan dipisahkan, ada yang memegang buku iqro ada juga yang memegang Al-Qur’an. Eithar yang sudah duduk di sebelah Farhan pun berbisik, “Farhan, kamu digaji di sini?”
Farhan menggeleng. “Tidak. Ini ikhlas, kok,” setelah giliran mengaji anak di depannya sudah selesai, Farhan memberi isyarat kalau jangan dilanjutkan ke giliran selanjutnya dahulu, karena ia ingin berbicara dengan Eithar.
“Mereka semua anak yatim, piatu, maupun keduanya, dari panti terdekat sini. Di panti mereka, masih terbatas adanya pelajaran agama, sehingga aku dan para petinggi masjid bersedia membantu mereka. Karena awalnya selain mengaji, aku juga sudah mengajarkan dasar-dasar agama Islam dalam dua minggu ini,” jelasnya.
Eithar mengangguk-angguk, rasa bersalah muncul dalam dirinya. Jika mereka saja niat untuk mempelajari agamanya bahkan di umur yang tergolong jauh lebih muda dari Eithar, kenapa Eithar selalu bermalas-malasan dan jarang mendengarkan Abinya? Sedangkan mereka, tak punya orang tua dari kecil yang harusnya menjadi panutan mereka.
Setelah beberapa giliran dilanjutkan oleh Farhan, Eithar membeberkan idenya melalui bisikan-bisikan kecil. Farhan menyetujuinya, dan Eithar memulai pelajaran sederhananya di situ sambil berdiri di depan papan tulis.
“Halo para santriwan dan santriwati yang kakak cintai,” ucapnya. “Perkenalkan nama kakak Eithar, dan hari ini kakak akan menemani Farhan untuk belajar bersama kalian. Kalian penasaran nggak, sih, Islam di Indonesia tuh dibawakan oleh siapa, sampai bisa datang ke negara kita?”
“Saya tau, kak! Pasti dibawakan oleh Persia, kan?” Salah satu anak berumur sepuluh tahun di situ mengangkat tangannya.
Eithar pun langsung mengagumi kecerdasan santriwati tersebut. “Ya, benar sekali. Namun Sebenarnya ada tiga teori mengapa Islam masuk ke Indonesia.
Pertama, Teori Gujarat. Garis besar dari teori ini, karena adanya pedagang muslim. Kemudian yang sudah disebutkan, yaitu Persia, karena adanya persamaan budaya. Ketiga, teori bahwa Islam dikenalkan oleh para musafir Arab,” Eithar tak lupa mencatatnya di papan tulis.
“Selain berdagang, Islamnya disebar lewat apa saja, kak? Gak mungkin kan, kalau cuma itu,” kali ini, ada laki-laki umur delapan tahun yang bertanya.
“Jadi selain berdagang, pendidikan, tasawuf atau penyembuhan, dan juga pernikahan menjadi saluran penyebaran agama Islam di Indonesia. Oleh karena itu, alhamdulillah sekali, jumlah muslim di Indonesia jadi banyak hingga sekarang,” jelasnya lagi, ternyata mengajar itu seseru ini.
“Jadi, Indonesia itu negara Islam, ya, kak?” Salah satu dari mereka bertanya lagi.
Eithar menggeleng. “Indonesia bukan negara berbasis Islam, namun penduduk muslimnya sangat banyak, salah satunya adalah kita semua yang ada di sini,” mereka semua mengangguk-angguk paham.
Eithar sangat berterimakasih kepada anak-anak ini, karena perlahan-lahan, hatinya menjadi terbuka karena antusias mereka yang tinggi sebagai umat muslim. Jika mereka yang belum baligh saja bisa taat kepada agamanya, mengapa Eithar tidak?
Pulangnya, Eithar pun langsung menemui sang Abi lagi di rumah. “Abi, nanti kalau sholat Maghribnya di rumah, Eithar mau jadi imamnya,” ucapnya dengan yakin.
Abinya langsung bingung, seperti bukan anaknya yang seperti biasanya. Eithar pun menceritakan kejadian tadi, dan sang Abi langsung bersyukur karena anaknya tersebut bisa mengambil hikmah dan secercah niat untuk menjadi anak yang taat ibadah dalam dirinya.
“Oh, iya. Abi juga ingin minta maaf, kalau selama ini Abi terlalu memaksa Eithar untuk perihal ibadah dan sebagainya. Mungkin Eithar sempat tak suka dengan cara Abi mengingatkan Eithar, hanya saja Abi ingin Eithar menjadi anak yang baik,” kata sang Abi.
Eithar mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa, Bi,” meskipun dulu awalnya pernah masuk sekolah Islam seakan paksaan baginya, begitu juga setiap disuruh ibadah, namun Eithar sadar, itu demi kebaikannya sendiri, bagaimanapun cara Abinya mendidiknya selama itu masih di batas yang wajar.
Eithar pun menjadi lebih sering pergi ke tempat pengajian, menyapa anak-anak istimewa itu kembali. Dan meskipun setiap membaca Al-Qur’an, Eithar bukan lah tipe orang yang bacaannya selalu hampir sempurna seperti Farhan, ia tetap percaya diri untuk mengajari mereka melantunkan ayat-ayat kitab umat Islam tersebut.
Eithar pun mulai tumbuh menjadi pribadi yang lebih bisa membenahi diri, setia kepada agamanya dan selalu menaati perintah-Nya.