Ditulis oleh : Ibnata Ibn Abdillah
Hari ini beda dengan rutinitasku biasanya. Kini aku sedang berada di depan cermin, mengencangkan dasi, merapikan jas, menyisir rambut, menyemprotkan parfum, serta tak lupa memasang jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Setelah sarapan dan benar-benar merasa siap, aku pamit dengan orang rumah, hendak berangkat.
“Hati-hati, uda,” aku tersenyum tipis mendengar ucapan sang penyempurna separuh agamaku.
Sebenarnya, hari ini tidak jauh beda dengan hari-hariku sebelumnya. Hari lalu pun aku juga sibuk, rapat, diundang menjadi pembicara di depan orang banyak, hari ini pun, sama demikiannya.
Hanya saja, yang mengundangku kali ini ialah universitas di mana aku kuliah dulu. Awal mula turning point ku hingga akhirnya aku bisa di titik ini.
Sesampai di tempat yang dituju, aku disambut oleh panitia dan disilahkan masuk ke aula serta duduk di sofa yang telah disediakan, sedang di hadapanku telah hadir beratus-ratus mata yang siap menyaksikanku.
Acara dimulai. Moderator mengawali dengan pembukaan serta membacakan biografiku. Kemudian dilanjutkan dengan aku yang harus berbicara di podium untuk memberikan wejangan kepada para mahasiswa.
Yah, wejangan biasa. Berisi motivasi-motivasi serta presentase powerpoint seperti yang kalian hadiri kalau ada acara seperti ini di universitas pada biasanya.
Akhirnya tibalah pada sesi pertanyaan. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan santai, berlagak wibawa, sedikit menyelipkan kisah-kisah heroik.
Tapi ada satu pertanyaan yang membuat hatiku gusar, yang tidak pernah ada menanyakannya setelah seorang perempuan yang kuputuskan untuk meminangnya, yang membuat aku harus menghela nafas panjang sebelum menjawabnya.
“Melihat anda yang kini sukses dari segi material dunia serta begitu visioner terhadap peradaban Islam, siapakah sosok yang hingga kini terus membakar semangat anda?” Tanya seorang anak lelaki kurus dengan baju kemeja yang kebesaran.
Aku menarik ujung bibirku seraya menjawab, “anak ini memiliki pertanyaan yang menarik. ‘Siapa’ lho, yang ditanyanya. Padahal selama ini aku selalu menerima pertanyaan apa, bagaimana, kenapa.”
“Jawabannya kutemukan saat aku seusiamu, dik,” lanjutku sambil tersenyum menatap ke arahnya dari kejauhan.
Aku memulai cerita, “Ketahuilah, sungguh aku lahir dari keluarga yang sederhana. Hidup di desa, mandi di pinggir sungai, sepulang sekolah harus mengumpulkan rerumputan untuk pakan sapi demi pendapatan sesuap nasi, tapi itu tidak sama sekali menghalangiku untuk menggali ilmu yang kuenyam di bangku pendidikan. Dan, hei, bukan bermaksud sombong, dari SD hingga SMA aku selalu menduduki peringkat 3 besar.
Hingga akhirnya, ibuku menyuruh untuk merantau ke pulau ini, jamahlah dunia lebih luas nak, sudah saatnya kau beranjak dari tempat ini, pintanya. Aku menurutinya, dan jadilah paruh baya yang menuju empat puluh tahun ini se-almameter dengan kalian.
Aku menuntut ilmu di tempat ini dengan penuh kesungguhan. Tidak pernah terlintas di benakku hanya untuk sekedar mampir di warteg pinggir jalan sambil bertukar gelak serta menyesap sebatang-dua batang rokok bersama teman-temanku. Bagiku tiada waktu untuk menarik nafas barangkali ingin rehat sejenak, karena bagiku belajar pun cukup menjadi hiburan.
Kabar buruknya, pada semester 5 ayahku meninggal. Beliau sedikit sekali meninggalkan warisan, namun meninggalkan setumpuk hutang. Ibuku yang fisiknya sudah tidak terlalu kuat, adik-adikku yang juga—jangankan biaya untuk meneruskan pendidikan, bisa makan sekali sehari saja syukur.
Keadaan ini benar-benar menerjang pikiranku sebagai anak pertama hingga aku pulang kampung tanpa mengabari mereka, dan juga, tanpa mengabari pihak universitas.
Membutuhkan waktu 3 hari dalam perjalanan darat, sampai di rumah tanpa istirahat aku langsung menghampiri ibu yang sedang duduk sambil menjahit baju berlubang serta menggenggam erat tangannya, tidak pakai salam, tidak pakai pendahuluan, aku berlutut di hadapannya dan spontan berkata,
“Ibu, aku putus kuliah saja.”
Ibu yang terkejut atas hadirku serta pernyataan yang kupertimbangkan lebih-lebih 2 minggu, pun bingung harus merespon bagaimana.
Aku menatap matanya dalam-dalam. Penuh derita. Penuh sakit.
Namun, tangannya mengusap pelan anak-anak rambutku,
“Kenapa, nak?” tanyanya rintih.
Suara lirihnya benar-benar mengiris hatiku. Tentu aku tidak kuasa untuk mengeluhkan semua rentetan perasaanku, karena ialah seharusnya yang paling berhak memekik menangis, paling berhak menyumpah serapahi keadaan, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya.
Aku terdiam sambil mengerutkan dahi, menahan tangis, menunduk tidak kuat mengangkat pandangan hanya untuk sekedar memeriksa raut wajah ibu perihal tingkah lakuku.
“Kamu capek, ya?” ditanya seperti itu membuatku sukses sesenggukkan di hadapannya. Tanganku bergetar masih menggenggam tangan ibu, sedangkan ia semakin mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang.
“Nak, walau kau sekarang sedang tertatih, sedang berdarah hingga tak sanggup merintih, ingatlah, kamu punya Allah. Adukan semuanya padaNya, ya?” Keadaanku masih sama, mengangguk pun tidak sanggup.
“Untuk mengejar sesuatu yang mahal, kita tentu membutuhkan usaha lebih. Merelakan materialisme lebih. Ketahuilah, apa yang Allah tawarkan sangat mahal, dan apa yang Allah tawarkan untuk kita adalah surga.
Bukankah setiap kenaikan kelas, atau pergantian semester, kamu harus melewati ujian? Mudah-mudahan pun, Allah sedang menaikkan kelas kita berkat ujian yang diberikanNya.
Bila nantinya kamu sukses, itu bagus. Kamu kaya, itu bagus. Kamu berprestasi, itu bagus. Namun, aduhai, apalah arti itu semua bila kamu tidak pernah menoleh saudaramu yang memelas kelaparan, apalah arti itu semua bila kamu apatis terhadap kepentingan umat ini, apalah arti itu semua bila kamu bodoh terhadap agamamu sendiri.
Dan kini kamu meminta putus kuliah, beralasan ingin membantu keluarga. Di mana sisi yang bisa ibu katakan bagus, bukankah itu tindakan memikirkan diri sendiri dalam jangka waktu pendek?”
Kini nafasku sudah mulai teratur, berusaha memahami tiap untaian kata yang disampaikan ibu. Tangannya yang semula mengelus kepalaku perlahan pindah menarik daguku, hingga mata kami saling berpandangan.
“Kakekmu pernah berpesan, agama seorang anak itu di atas agama ibunya. Maka semenjak hari itu, ibu bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama, menahan diri kuat-kuat walau kesempatan melakukan maksiat itu ada, sedang gemerlap dunia sahut-menyahut menggoda diri, tahukah kamu untuk apa usaha itu semua?
Untuk menunggu hari ini, nak. Menunggu hari ini datang. Menyaksikan, apakah suatu hal yang kutanam di masa muda akan berbuah hari ini?
Ketahuilah anakku, ibu yakin, buahnya sebentar lagi matang.
Jadi, maukah kamu berjuang, sebentar lagi, hanya sampai mati?”
Ibu menenangkanku dan mengatakan tidak apa-apa, urusan rumah sepenuhnya tanggung jawab ibu, sedang tugasku ialah tidak membuat kecewa orang yang mengharap hadirku semenjak tiga puluh tahun yang lalu.
Kemudian, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan kuliah sambil kerja part-time. Atas izin Allah akupun lulus dengan predikat cumlaude.
Setelah itu aku tidak pernah berputus asa dan selalu meminta pertolongan dan rahmatNya, sampai Dia menghantarkan saya di titik ini, CEO dari suatu start-up yang resmi berstatus unicorn, dengan valuasi lebih $1 Miliar.
Memiliki ekspansi hingga ke luar negeri, berakuisisi dengan beberapa perusahaan lain, sampai perusahaan-perusahaan besar tidak segan untuk menyuntikkan dana pada usaha kami, tak lupa membuka rumah makan gratis yang menyediakan 400-500 porsi sehari dan lain hal yang tidak bisa kusebutkan satu per satu, Masha Allah, hadza min fadhli rabbi.”
Semua audiens di aula itu mendecak kagum serta bertepuk tangan.
“Dan hadirnya saya di depan anda semua hari ini, saya mengajak anda agar memanfaatkan rahmat Allah yang diberikan pada masing-masing anda berupa potensi untuk diorientasikan memang hanya untukNya.
Salah satu yang dapat kita lakukan adalah berdakwah, tidak mesti menjadi ulama kondang, mengisi kajian di mana-mana. Padahal, berdakwah itu bisa sesederhana dengan akhlak mulia.
Terakhir, jangan pernah menjadikan profesi anda sebagai alasan penghalang menyiarkan dakwah, karena dakwah sebenarnya bukanlah sebuah profesi, namun apapun profesi kita, tetaplah berdakwah. Nyalakan cahaya Islam ini di seluruh penjuru, dik, terlepas jadi apa engkau kelak.”
Ini adalah jawaban dari pertanyaan terakhir, dan kali ini audiens menyambut akhir kataku sampai-sampai dengan stand applaus.
Aku turun dari podium sembari berbisik dengan hati kecilku,
“Ibu, mudah-mudahan Allah petikkan buahnya untukmu sekarang.”
masyaallah.. bagus banget ceritanya, sangat memotivasi dan deep banget sih di akhir… salut saya