Ditulis oleh : Elsya Sharon Ardana
Laki laki jakung berwajah timur tengah mengenakan setelan abaya hitam dan kopyah senada melantunkan ayat ayat suci dengan indah. Suaranya yang lembut mampu membuat orang-orang yang mendengarkannya tersenyum takjub.
Toa masjid itu mengalirkan suara yang sangat merdu, sebagian orang ada yang diam-diam mengintip dari balik pintu masjid dan juga ada yang terang-terangan memasuki masjid dengan duduk bersila di depannya. Laki-laki Arab itu masih belum menyadari suasana disekitarnya, dia masih fokus kepada ayat-ayat suci yang dibacanya.
Sampai pada ayat terakhir dia menutup Al-Qur’an dan menciumnya, “mas Andrew suaranya bagus pol loh, saya teh sampai terpesona, udah ganteng, mapan alim lagi, btw mas ibu punya anak cewek dia masih kuliah belum pernah nikah boleh lah kapan-kapan dateng ke rumah ibu silaturahmi dulu.”
Laki-laki itu nampak terkejut tapi dia menutupinya dengan tersenyum tipis. Bagaimana tidak kaget kini didepannya sudah ada ibu-ibu yang berbaris seakan menghakiminya. Dengan menyembunyikan raut malu Andrew berdehem sejenak “ibu-ibu mau ngaji juga, saya sudah selesai.”
“eh nggak atuh kang, kita disini teh pengen akang milih kita jadi mertua akang, kita disini punya anak gadis siapa tahu akang teh kepincut.” Pipi Andrew memerah dirinya ingin lari dari sini rasanya, baru kemaren pulang dari Arab untuk menjenguk neneknya, kini dia sudah dihadapkan permasalahan lagi.
“maaf bu tapi saya belum mau menikah.”
“eh akang teh, kita mah nggak nyuruh akang nikah, kita cuman nawarin akang kenalan sama putri kita.”
Andrew tersenyum sopan “iya nanti saya kenalan sama putri ibu.”
“kang nanti jadi tamu ibu ya, dirumah ibu.”
“eh bu, mas Andrew di rumah saya dulu, kan saya kesininya awal.”
“ya enggak gitu bu, saya dulu kan saya yang lebih tua disini.” Andrew menggigit bibirnya, dirinya bingung dengan keributan yang terjadi. “maaf bu ini masjid nggak baik kalo berdebat disini.” Ucapnya dengan lembut.
“eh atuh akang mah jangan senyum gitu atuh, maaf kang jadi ganggu akang yaudah kami permisi dulu.” Andrew menatapnya bingung, ibu-ibu itu pergi terburu-buru hingga ada yang berdesak desakan keluar.
“nak bisa kamu mulai adzannya, ini udah masuk waktu maghrib.”
“baik ustadz.”
**
Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku abaya jalannya menunduk, dia mendongak ketika ada yang meyapanya, memang tak lama dia tinggal disini tapi wajahnya membuat kampung halaman neneknya gempar, Andrew sangat pusing sekarang. “aduh.” Langkahnya terhenti, dia sedikit mengangkat kepalanya.
Perempuan bercadar itu meringis, alis tebalnya yang terukir sempurna dengan mata bulat membuat dirinya terpaku sebentar, baru kali ini Andrew melihat perempuan berpenampilan seperti itu di desa ini, sebelumnya hanya sekumpulan perempuan berhijab yang disampirkan di bahu.
Tangannya terulur untuk membantu perempuan itu bangkit, tapi Andrew melihat dia sangat gelagapan dan terburu-buru mengambil kresek belanjaannya sebelum ngacir pergi.
Diam-diam Andrew tersenyum, baru kali ini ada seseorang yang menarik hatinya sebelumnya tidak ada. Dari banyaknya perempuan Arab yang dijodohkan dengan dirinya perasaan tertarik itu tidak melebih seperti ini.
“nek kenapa jalan-jalan? duduk aja, kalo ada apa-apa bilang sama Andrew, kalo nenek jatuh gimana? kan nenek masih sakit aduh.” Perempuan dengan rambut putih itu berdecak sebal lalu cemberut.
“kamu itu cerewet sekali Andrew, mending cari istri sana, kamu nggak takut kelamaan jomblo nanti jadi perjaka tua.” Bukannya tersinggung Andrew malah tertawa.
“meskipun jadi perjaka tua tapi masih banyak yang ngantri sama Andrew nek.”
Nenek berdecak “tolong kamu ambilin bubur di dapur, tadi Aruna naruh disitu.”
“Aruna siapa nek.”
“itu anak yatim piatu, yang pake cadar, tetangga sebelah.” Mata Andrew melebar.
“pake cadar warna hitam kan nek terus gamisnya hitam juga?”
“iya kenapa?”
“gapapa nek Andrew cuman nanya.”
***
Tumpukan barang-barang yang menggunung membuat Andrew mendesah pasrah, dari sekian ruangan kenapa neneknya menyuruhnya untuk merapikan gudang apalagi sarang laba-laba sudah ada dimana-mana, hidungnya yang tertutup oleh masker tak dapat mencegah gatal yang semakin menjadi apalagi suara bersin terus saja menggema di ruangan pengap ini.
Dengan hati pasrah dirinya mulai melanjutkan pekejaannya yang tertunda, memindahkan kardus yang berisi pakaian bekas keluar untuk disumbangkan ke panti sosial.
“sudah nduk naruhnya? kalo udah kamu kasih kepanti ibu, tahu kan?” Andrew mengangguk.
“ya sudah.”
“hachim.” Andrew menggosok hidungnya yang gatal, kulit putihnya menjadi merah, tapi dia tak lengah agar pekerjaannya cepat selesai Andrew bergerak lebih cepat dengan memesukkan tiga kardus besar ke bagasi mobilnya.
“assalamu’alaikum nek, Andrew berangkat dulu.”
“wa’alaikumussalam, hati-hati nggak usah ngebut!”
“siap nek!”
Jalanan yang lenggang hari ini membuat dirinya bernapas agak lega, rute satu kilometer dari rumahnya tak memakan banyak waktu, dua puluh menit dirinya telah sampai, dan kini langsung disambut banyak anak panti yang sekedar menghentikan aktivitasnya kala melihat dirinya.
Senyum bahagia terukir di wajahnya, Andrew melambaikan tangan ramah dan dijawab oleh mereka dengan senyum ceria.
“Assalamu’alaikum.”
“wa’alaikumussalam, oh nak Andrew cucunya nenek Fatimah toh yang dari arab itu?”
“iya bu.”
“sini-sini masuk, kebetulan Fatimah itu temen ibu waktu SMA dulu disini.” Andrew mengangguk, meskipun tinggal di Arab tak membuat gaya bahasanya lupa karena neneknya selalu mengajarinya setiap dirinya tiba di Indonesia.
“minum dulu nak, jangan sungkan-sungkan, anggep rumah sendiri aja, biasanya Fatimah sering kesini main sama anak-anak.”
“iya bu.”
“dulu waktu Fatimah-”
“hiks…hiks.”
“aduh-aduh sayang kamu kenapa nak?” perempuan paruh baya di depannya langsung menggendong anak yang menangis itu, mengusap kepalanya.
“Kana mana? hiks.”
“iya-iya bentar ibu panggilin kak Na ya.”
Perempuan bercadar itu datang langsung dipeluk oleh gadis kecil menangis itu, ajaibnya tangisnya langsung reda ketika dia membisikkan sesuatu di telinga gadis kecil itu.
“ALANA SAYANG KANA.” Gadis itu berteriak senang, di balik cadarnya Aruna tersenyum manis sampai matanya membentuk lengkungan sipit bagai bulan sabit.
Diam-diam Andrew terpesona sekaligus terpaku, perempuan bercadar ini benar-benar mengalihkan dunianya, apa nanti dia bisa meminang perempuan itu, dari pertemuan pertama Andrew sudah dibuat kagum dengan kepribadiannya.